Pendahuluan
Menurut hemat saya hampir semua kita sepakat bahwa pendidikan merupakan kata kunci dari sebuah permasalahan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ada korelasi yang signifikan menurut saya antara kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan dengan tingkat permasalahan kehidupan, sebut saja misalnya masalah kemiskinan, keterbelakangan, konflik sosial dan lain sebagainya.
Memang sulit untuk mengatakan apakah kemiskinan yang membuat masyarakat (paling tidak seseorang) tidak dapat mengenyam pendidikan, begitu pula sebaliknya. Perdebatan soal seperti ini seperti halnya hita membicarakan mana yang duluan telur atau ayam, meskipun kalau saya berani mengatakan duluan ayam, sebab sampai saat ini belum ada yang bisa menciptakan telur lantas bisa menetas (bernyawa). Jika kita mau optimis maka Pendidikan kita posisikan sebagai ayam, dan keadaan telur sebagi simbol keberadaan manusia yang bisa menjadi berkualitas atau justru sebaliknya.
Kesadaran sebagai sebuah bangsa akan pentingnya masalah pendidikan sesungguhnya sudah sangat jelas tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 31 yang mengatur tentang pendidikan Nasional disebutkan bahwa :
(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang diatur dalam undang-undang.
(3) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(4) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(5) Negara mempriotaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelengaaran pendidikan nasional.
Pasal 31 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia itu kemudian diatur lebih lanjut dalam dalam Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Di dalam Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 itu dinyatakan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003)
Dengan demikian jelas ada beberapa hal yang dapat dijadikan catatan penting bagi kita bahwa:
1. Setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan dan pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan.
2. Warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib memfasilitasi (membiayai) kegiatan wajib belajar (wajar) tersebut
3. Pendidikan diarahkan kepada terbentuknya pribadi (masyarakat) yang beriman, bertaqwa, cerdas, berakhlak mulia dan bertanggungjawab.
4. Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran untuk pendidikan minimal 20% dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Komitmen Pemerintah dan Pemerintah Daerah
Sebelum Undang-Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional diterbitkan, Pemerintah Indonesia telah 2 (dua) kali menggulirkan program wajib belajar. Program wajib belajar pertama kali digulirkan pada tahun 1984 yang mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk mengikuti pendidikan selama 6 (enam) tahun di jenjang pendidikan dasar.
Program wajib belajar ke dua merupakan program wajib belajar 9 (sembilan) Tahun. Program ini mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk mengikuti pendidikan selama 9 (sembilan) tahun pada jenjang pendidikan dasar, yaitu dari tingkat kelas 1 Sekolah Dasar (SD) atau Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga kelas 9 Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Madrasah Tsanawiyah (MTs).
Sebagai sebuah program yang telah berjalan dengan segala keberhasilan dan kekurangan disana sini untuk disempurnakan tentu saja harus ditindak lanjuti secara berkesinambungan. Salah satu masalah yang masih menjadi agenda berat bagi Bangsa dan daerah ini adalah agenda Pemerataan pendidikan baik mengenai kesenjangan infrastruktur maupun tenaga pendidik maupun sarana dan prasarana pendidikan lainnya. Hal inilah yang menurut hemat saya penetapan alat ukur yang sama secara nasional (Ujian Nasional) menjadi kurang tepat dijadikan satu-satunya variabel penentu kelulusan siswa apalagi materi yang di-UN-kan membentuk peserta didik menjadi sekuler yang nota bene kontra produktif dengan tujuan pendidikan nasional kita.
Terlepas dari persoalan yang masih tersisa, saat ini kita dihadapkan pada kebutuhan tindak lanjut akan program WAJAR 9 tahun yang sesuai target pada tahun 2008 telah mendekati target yakni angka partisipasi kasar (APK) 92,52% dari 95,00%.
Meski Pemerintah (Pusat) belum secara tegas mencanangkan program WAJAR 12 tahun, telah banyak daerah yang menerapkan program ini, sebut saja misalnya, Provinsi Jatim, DIY, Babel (Kota Pangkalpinang) dan Jabar (Kota Sukabumi). (Hasil Rembug Nasional Pendidikan Tahun 2008)
Pemerintah Daerah Tanggamus hingga saat ini, setidaknya pada kurun waktu tahun 2008 – 2013 belum mencanangkan program WAJAR 12 tahun. Hal tersebut memang tidak terbaca secara eksplisit dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang merupakan penjabaran Visi dan Misi Bupati dan wakil Bupati Tanggamus (Bambang Kurniawan – Sujadi Saddat).
Namun demikian Program bidang pendidikan tertuang dalam Program Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat yang meliputi :
1. Program rehabilitasi dan pembangunan gedung/unit sekolah
2. Program peningkatan kuantitas dan kualitas guru
3. Program peningkatan manajemen sekolah
4. Program peningkatan kelengkapan fasilitas sekolah
5. Program peningkatan kesejahteraan guru
6. Program peningkatan akses dan pemerataan pendidikan
7. dst...
(PERDA Kabupaten Tanggamus No. 13 Tahun 2008 tentang RPJMD).
Namun demikian komitmen pemerintah Daerah terhadap dunia Pendidikan sangat tinggi, setidaknya jika dilihat dari besaran anggaran bidang pendidikan yang mencapai Rp. 307.499.200.020,00 dari total belanja Daerah sebesar Rp. 633.933.237.160,00 yang berarti mencapai 48,5%. Belanja bidang pendidikan tersebut termasuk belanja hibah dan bantuan bidang pendidikan. Dengan demikian amanat UUD 1945 dan UU SISDIKNAS untuk menganggarkan 20% untuk pendidikan telah terlampaui.
Beberapa kebijakan anggaran bidang pendidikan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah (bersama DPRD) diantaranya:
1. Tunjangan pegawai guru honor murni
2. Tunjangan Profesi, baik yang sudah sertifikasi maupun belum
3. Bantuan untuk penyelenggaraan sekolah swasta
4. Beasiswa bagi guru untuk melanjutkan S1 (Universitas Terbuka)
5. Bantuan untuk Lembaga Pendidikan Negeri/swasta
6. Bantuan untuk Madrasah Negeri/swasta
7. Siswa Berprestasi, Guru dan Tenaga medis daerah terpencil
8. HIMPAUDI
9. Taman Kanak-Kanak/Raudatul Athfal (TK/RA)
10. Pendidikan anak Usia Dini (PAUD)
11. Pemerataan anggaran untuk sekolah swasta termasuk madrasah (proporsional)
Penutup : Guru dan ”Mbah Google”
Keberadaan Teknologi Informasi (TI) memberikan kontribusi yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat termasuk didalamnya dunia pendidikan. Derasnya arus globalisasi dan informasi menghantarkan posisi masyarakat dunia layaknya sebuah kampung sempit yang hampir tidak ada sudut bumi manapun yang tak terpantau oleh kita.
Peristiwa dibelahan bumi manapun dapat kita saksikan secara langsung (live), siapapun dapat mengunggah (upload) dan mengunduh (download) apapun baik yang bermanfaat maupun yang merusak sekalipun. Inilah yang menjadi hal penting yang harus dijadikan komitmen kita bersama untuk menyikapinya. Tidak berlebihan jika kita ibaratkan TI ibarat pisau dapur atau gunting, jika digunakan sebagaimana mestinya tidak jadi masalah, namun jika digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan kejahatan, jadilah ia menjadi pidana dan perbuatan melawan hukum.
Keberadaan TI harus kita posisikan sebagai alat yang membantu mempermudah aktifitas kita jangan sebaliknya kita yang menjadi hamba atau diperbudak oleh TI. Kita harus menggeser dan mensejajarkan antara prilaku konsumtif (tukang unduh) dan prilaku produktip (tukang unggah) tentu saja terhadap hal-hal yang bermanfaat dan mengandung kebaikan. Siswa, mahasiswa, guru dan dosen idealnya akrab dengan TI dan semua media yang bisa dijadikan sarana pembelajaran, karenanya situs jejaring sosial facebook, twitter apalagi website dan blog juga harus kita jadikan sebagai pembantu kita untuk memperlancar komunikasi dan mengembangkan pendidikan.
Sengaja saya katakan antara guru dan ”mbah google” sebagai sesuatu yang tidak perlu dihadapkan, karena jika kita menghadapkannya kita akan ”kualat” dan tidak sopan yang dalam perspektif Zarnuji dalam kitab ”Ta’liim al muta’allim” kita harus ta’dhim (hormat) terhadap sang guru agar ilmu kita bermanfaat dan barokah. Mbah Google dkk memang dapat membantu kita menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan apa yang kita butuhkan, akan tetapi tidak bisa membimbing dan memberikan teladan bagi kita layaknya seorang guru. Dalam perspektif pendidikan Islam guru adalah tidak sekedar mu’allim (mengajar) tapi beliau adalah seorang murabbi (membimbing, menjaga dan melindungi). Dengan demikian pendidikan harus dipahami tidak sekedar sebagai transfer of knowledge, membuat siswa dan mahasiswa cerdas akan tetapi harus kita arahkan untuk membentuk pribadi yang luhur dan berakhlak mulia.
Oleh karena itu kita harus prihatin atas keadaan terkini, dimana dari hasil sebuah penelitian, ternyata mayoritas orang yang mengakses internet membuka situs porno. Tidak bisa dibayangkan apa yang terjadi terhadap masa depan anak bangsa jika merekaketagihan situs porno dan yang paling sangat berbahaya jika misalnya mereka berpandangan bahwa hal-hal seperti itu dianggap wajar dan wajar pula untuk ditiru. Na’udzubillah min dzalik. Tugas kita semua untuk membentuk anak bangsa kita menjadi generasi yang lebih baik. Semoga
Wallahu a’lam bish shawab.